Silvia Nachita Ratih

Rabu, 02 Maret 2011

Terapi bermain

  1. Pengertian Terapi Bermain
Bermain adalah aktivitas yang menyenangkan dan merupakan kebutuhan yang sudah melekat dalam diri setiap anak. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Suwarni   (2000 : 41) bahwa “bermain merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk memperolah kesenangan tanpa mempertimbangkan hasil akhir.”
Menurut Sudono (2000: 1) “bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau pemberian informasi, memberi kesenangan, maupun mengembangkan imajinasi anak.
Bermain juga dapat digunakan sebagai terapi. Terapi merupakan penerapan  sistematis dari sekumpulan prinsip belajar terhadap kondisi atau tingkah laku yang dianggap menyimpang dengan tujuan melakukan perubahan. Perubahan yang dimaksud bisa berarti menghilangkan, mengurangi, meningkatkan, atau memodifikasi suatu kondisi tingkah laku tertentu.
Dari pengertian diatas, dapat disimpulakn bahwa terapi bermain adalah usaha untuk mengubah tingkah laku yang bermasalah, dengan melakukan kegiatan untuk memperoleh kesenangan dan mengembangkan imajinasi anak. Terapi bermain merupakan salah satu upaya untuk membantu anak tuna grahita agar dapat berkembang baik dari aspek fisik, intelektual, dan sosialnya secara optimal melalui bermain ( Astati, 1995 : 120 ).
Dengan bermain, anak mendapatka masukan-masukan untuk diproses bersama dengan pengetahuan apa yang dimilkinya, anak dapat belajar berkomunikasi dengan sesama teman, baik dalam hal mengemukakan isi pikiran dan perasaannya maupun untuk belajar memahami apa yang diucapkan teman. Selain itu anak akan belajar berbagi hak, menggunakan mainan secara bergilir, melakukan kegiatan bersama, mempertahankan hubungan yang sudah terbina, mencari cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi, memahami kaitan antara dirinya dengan lingkungan sosialnya, belajar bergaul dan memahami aturan ataupun tata cara pergaulan.
  1. Ciri – ciri Bermain
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Smith et all: Garvey: Rubin, Fein dan Vanderberg ( dalam Tedjasaputra, 2003) diungkapkan ciri kegiatan bermain meliputi berbagai hal, sebagai berikut :
Ø  dilakukan berdasarkan motivasi instrinsik, yakni motivasi yang timbul atas keinginan dan kepentingannya sendiri.
Ø  persaan dari orang yang terlibat dalam kegiatan bermain diwarnai olah emosi-emosi negatif. Jika kalau emosi positif tidak muncul setidaknya kegiatan bermain mempunyai nilai bagi anak.
Ø  fleksibilitas yang ditandai mudahnya kegiatan beralih dari satu aktifitas ke aktifitas yang lainnya.
Ø  bebas memilih. Hal ini merupakan elelmen yang sangat penting bagi konsep bermain pada anak-anak.
Ø  kegiatan bermain mempunyai kerangka tertentu yang memisahkan antara kehidupan nyata sehari-sehari dengan fantasi.

  1. Manfaat bermain
Menurut Wiliard dan Spackmans (1999)
Ø  perkembangn fisik. Melalui permainan anak dapat mengembangkan dan melaksanakan berbagai keterampilan jasmani seperti keterampilan motorik kasar, juga keterampilan motorik halus. Anak juga dapat menyalurkan tenaga (energi).
Ø  perkembangan intelektual (kognitif). Melalui permainan, anak belajar berfikir dan menyelasaikan masalah. Mereka menemukan begaimana hal-hal tertentu saling berkaitan, mengembangkan konsep seperti warna, bentuk, ukuran dan tekstur, mengembangkan konsentrasi, dan mengembangkan rasa ingin tahu. Permainan membuat anak menjadi lebih kreatif.
Ø  perkembangan bahasa. Dengan bermain anak dapat mempraktekkan bahasa, mengubah pembendaharaan kata dan sarana komunikasi.
Ø  perkembangan sosial-emosional. Dengan bermain anak akan belajar melakukan kegiatan bersama, mempertahankan hubungan yang sudah terbina dan mencari permasalahan dan cara untuk memecahkannya. Anak juga dapat menyalurkan perasaan-perasaan atau dorongan yang muncul dari dalam dirinya.



  1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Bermain
Menurut Setiawani (2000), faktor-faktor yang mempengaruhi permainan anak:
Ø  kesehatan. Anak-anak yang sehat mempunyai banyka energi untuk bermain dibandingkan dengan anak-anak yang kurang sehat, sehingga anaka-anak yang sehat banyak menghabiskan waktunya untuk bermain.
Ø  intelegensi. Anak yang cerdas lebih aktif dibandingkan dengan anak-anak yang kurang cerdas. Anak yang cerdas lebih menyukai permainan – permainan yang bersifat intelektual atau permainan yang banyak merangsang daya pikir mereka.
Ø  jenis kelamin. Anak perempuan lebih sedikit melakukan permainan yang menghabiskan banyak energi daripada anak laki-laki perbedaan ini bukan berarti bahwa anak perempuan sebaiknya menjadi anak lembut dan bertingkah laku halus.
Ø  lingkungan. Anak yang dibesarkan dilingkungan yang kurang menyediakan peralatan, waktu, dan ruang bermain bagi anak, akan menimbulkan aktivitas bermain anak berkurang.
Ø  status sosial ekonomi. Anak yang dibesarkan dilingkungan keluarga yang yang status ekonominya tinggi lebi banyak memfalisitasi anak-anak mereka dengan permainan yang lengkap.





5. Tujuan Terapi Bermain
Menurut Astati (1995), tujuan terapi bermain bagi anak tuna grahita antara lain:
Ø  pengembangan aspek fisik. Meningkatkan ketahanan otot-otot dan organ tubuh melatih keseimbangan.
Ø  pengembangan aspek intelektual. Meliputi kemampuan berkomunikasi, menghitung angka, mengartikan peraturan main, menceritakan apa yang didengar maupun yang dilihatnya.
Ø  pengembangan emosi. Meliputi penerimaan atas pimpinan orang lain, menghilangkan sikap pemarah, agresif, pasif, menarik, diri, memunculkan diri.
Ø  pengembangan sosialisasi. Meliputi bagaiman dapat bermain bersama, meningkatkan hubungan yang sehat dalam kelompok (berteman), menerima ketentuan permainan, menerima bila dipimpin oleh orang lain.
Ø  melatih keberanian dan ketangkasan.

6. Prinsip – prinsip Pelaksanaan
Ø  prinsip korelasi. Prinsip ini menganjurkan agar bahan bermain tidak hanya untuk latihan tertentu saja akan tetapi hendaknya dapat dilakukan untuk kebutuhan latihan bidang lain.
Ø  prinsip skala perkembangan mental. Mengingat kecerdasan anak tuna grahita berbeda-beda maka dalam memberikan terpai bermain hendaknya memperhatikan perbedaan itu.
Ø  prinsip spontanitas. Bermain tidak ada unsur paksaan, tetapi bersifat spontanitas. Maksudnya tidak ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi pada waktu ikut bermain, tidak ditentukan lamanya, dan tidak ditentukan waktunya dsb.
Ø  prinsip sosialisasi. Kemampuan sosial anak dapat berkembang dengan seringnya ia bermain bersama-sama dengan anak yang lainnya.
Ø  prinsip pengulangan. Karakteristik anak tuna grahita adalah cepat lupa. Oleh karena itu setiap mempelajari sesuatu selalu diadakan pengulangan. Demikian juga dengan bermain.
Ø  prinsip konsentrasi. Sekalipun bermain bersifat untuk kesenangan tetapi dalam bermain juga menuntut pemusatan perhatian.

7. Hal – hal yang Perlu Diperhatikan dalam Terapi Bermain
Menurut Astati (1995), hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan terpai bermain pada anak tuna grahita :
Ø  Keadaan anak. Keadaan anak tuna grahita berbeda-beda sehingga perbedaan-perbedaan ini harus diketahui dalam melaksanakan terapi bermain.
Ø  Pelatih dan pembimbing. Pelatih hendaknya mengetahui tentang keadaan anak, sehingga dalam membantu anak bermain tidak mengalami kesulitan.
Ø  Tempat bermain. Tempat ditentukan berkaitan dengan penggunaan bahan, jenis-jenis bermain yang dilakukan dan tujuan yang akan dihadapi.
Ø  Bahan bermain. Penentuan bahan bermain ereat kaitannya dengan kemampuan, usi, dan jenis kelamin pada anak tuna grahita.
Ø  Peralatan bermain. Alat yang digunakan hendaknya mudah diperoleh, dapat digunakan anak, tidak mudah rusak dan tidak berbahaya.
Ø  Pendekatan. Pendekatan yang digunakan ada bermacam-macam. Hal ini tergantung pada tujuan dan karakteristik anak tuna grahita.
Ø  Suasana bermain. Agar suasana bermain berjalan dengan baik, maka harus dihindari jangan sampai anak merasa tertekan, takut, atau terpaksa dalam bermain.
Ø  Keamanan. Untuk menjaga keamanan anak harus dibiasakan menunggu giliran, menggunakan alat dengan tenang, mengambil dan menyimpan alat pada tempatnya, dan lain-lain.
Ø  Evaluasi. Evaluasi bermain sebaiknya diadakan setiap kali bermain.

8.  Penerapan Terapi Bermain melalui Permainan Lempar Tangkap Bola
Jumlah Pemain                      : tidak terbatas
Tempat bermain                    : lapangan atau ruang dala kelas
Jenis bola                               : bola plastik ukuran besar
Cara bermain                         :
-          anak-anak bermain kesamping, menghadap guru atau anak yang menjadi lawan mainnya
-          guru atau anak yang menjadi lawan dalam jarak tertentu melemparkan bola kepada anak yang dihadapannya.
-          Anak harus menangkap bola dengan kedua tangannya lalu melempar kembali bola kepada guru ata anak yang menjadi lawannya begitu seterusnya.
Tujuan dari permainan ini adalah :
-          melatih kecepatan motorik kasar anak.
-          Melatih konsentrasi, agar perhatian anak dapat terpusat pada suatu objek
-          Melatih ketangkasan.

9. Penerapan Terapi Bermain Melalui Permainan Itik Berbaris
Jumlah pemain          : tidak terbatas
Tempat bermain        : halaman atau ruangan yang agak luas
Jenis bola                   : bola yang agak besar (bola yang mudah dipegang anak dengan satu tangan
Cara bermain             :
-          anak berbaris memanjang kebelakang sambil berjongkok dan kedua tangan memegang bahu kawan yang ada didepannya.
-          Guru membuat garis awal (start) dan garis akhir (finish) dengan jarak sesuai kemampuan anak.
-          Di garis akhir (finish) disediakan dua bola.
-          Bola ini adalah makanan itik yang akan dinikamati bersama-sama.
-          Guru memberikan aba-aba “ jalan “ maka dua kelompok itik berbaris itu mulai berjalan dengan tetap berjongkok dan memegang bahu kawan untuk mengambil bola.
Tujuan dari permainan ini adalah   :
-          melatih kedisiplinan anak,
-          melatih kekompakan antar teman sebaya
-          melatih kerja sama
-          membangun interaksi sosial, komunikasi sosial
-          melatih motorik anak.

10. MAHKOTA RAJA
Manfaat Permainan        :
  1. Latihan motorik halus
  2. Kerjasama
  3. Melatih Kreatifitas
  4. Melatih Kognitif

Bahan dan Peralatan       :
·         Daun secukupnya ( daun nangka, mangga, jambu air dan sebagainya)
·         Lidi penyemat
Langkah Kegiatan           :
  1. Ajaklah anak –anak melipat daun secara horizontal.
  2. Mintalah anak-anak untuk menangkupkan sisi lembar daun yang telah dilipat pada sisi daun yang lain.
  3. Mintalah anak untuk menyematkan lidi pada rangkaian kedua daun itu.
  4. Tangkupkan lembar demi lembar daun berikutnya pada daun yang telah terangkai. Jangan lupa sematkan lidi.
  5. Ukurlah lebar mahkota dengan lingkar kepala anak agar pas bila dikenakan.
  6. Mintalah anak-anak menyambungkan kedua keujung rangkaian daun dan berilah lidi penyemat.
  7. Ajaklah anak bermain peran dengan seting kerajaan. Biarkan anak memilih perannya masing-masing.
 
11. LOMPAT GEOMETRI
Manfaat Permainan        :
  1. Mengenal bentuk geometri
  2. Latihan fisik
  3. Berasosialisasi
  4. Mengenal warna

Bahan dan Peralatan       :
·         Tempat yang lapang
·         Kapur tulis
Langkah Kegiatan           :
  1. Pilihlah tempat yang lapang untuk bermain, bisa di halaman rumah atau di dalam ruangan.
  2. Gambaran bentuk-bentuk geometri, seperti segi tiga, bujur sangkar, jajar genjang, atau lingkaran pada tanah atau lantai menggunakan kapur tulis.
  3. Tunjukkan nama-nama bentuk geometri tersebut pada anak-anak.
  4. Ajaklah anak-anak untuk melompat dari bentuk geometri yang satu ke bentuk geometri yang satu ke bentuk geometri yang lain, sambil menyebut bentuk geometri itu.
  5. Lakukan berulang-ulang hingga anak-anak merasa puas.

Sekilas tentang Tunagrahita

1.      PENGERTIAN
Anak tunagrahita adalah anak dengan gangguan intelijensi yang memiliki IQ dibawah 70. American Asociation on Mental Deficiency/AAMD dalam B3PTKSM, (p. 20), mendefinisian Tunagrahita sebagai kelainan:
a.      yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (Sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes;
b.      yang muncul sebelum usia 16 tahun;
c.       yang menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif.

Sedangkan pengertian Tunagrahita menurut Japan League for Mentally Retarded (1992: p.22) dalam B3PTKSM (p. 20-22) sebagai berikut:
  1. Fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 kebawah berdasarkan tes inteligensi baku.
  2. Kekurangan dalam perilaku adaptif.
  3. Terjadi pada masa perkembangan, yaitu anatara masa konsepsi hingga usia 18 tahun.
 Pengklasifikasian/penggolongan Anak Tunagrahita untuk keperluan pembelajaran menurut American Association on Mental Retardation dalam Special Education in Ontario Schools (p. 100) sebagai berikut:
1. EDUCABLE
Anak pada kelompok ini masih mempunyai kemampuan dalam akademik setara dengan anak reguler pada kelas 5 Sekolah dasar.
2. TRAINABLE
Mempunyai kemampuan dalam mengurus diri sendiri, pertahanan diri, dan penyesuaian sosial. Sangat terbatas kemampuanya untuk mendapat pendidikan secara kademik.
3. CUSTODIAL
Dengan pemberian latihan yang terus menerus dan khusus, dapat melatih anak tentang dasar-dasar cara menolong diri sendiri dan kemampuan yang bersifat komunikatif. Hal ini biasanya memerlukan pengawasan dan dukungan yang terus menerus.
Sedangkan penggolongan Tunagrahita untuk Keperluan Pembelajaran menurut B3PTKSM (p. 26) sebagai berikut:
  1. Taraf perbatasan (borderline) dalam pendidikan disebut sebagai lamban belajar (slow learner) dengan IQ 70 – 85.
  2. Tunagrahita mampu didik (educable mentally retarded) dengan IQ 50 – 75 atau 75.
  3. Tunagrahit mampu latih (trainable mentally retarded) dengan IQ 30 – 50 atau IQ 35 – 55.
  4. Tunagrahita butuh rawat (dependent or profoundly mentally retarded) dengan IQ dibawah 25 atau 30.
Penggolongan Tunagrahita secara Medis-Biologis menurut Roan, 1979, dalam B3PTKSM (p. 25) sebagai berikut:
1. Retardasi mental taraf perbatasan (IQ: 68 – 85).
2. Retardasi mental ringan (IQ: 52 – 67).
3. Retardasi mental sedang (IQ: 36 – 51).
4. Retardasi mental berat (IQ: 20 – 35).
5. Retardasi mental sangat berat (IQ: kurang dari 20); dan
6. Retardasi mental tak tergolongkan.
Adapun penggolongan Tunagrahita secara Sosial-Psikogis terbagi 2 (dua) kriteria yaitu: psikometrik dan perilaku adaptif.
Ada 4 (empat) taraf Tunagrahita berdasarkan kriteria psikometrik menurut skala inteligensi Wechsler (Kirk dan Gallagher, 1979, dalam B3PTKSM, p. 26), yaitu:
  1. Retardasi mental ringan (mild mental retardation) dengan IQ 55 – 69.
  2. Retardasi mental sedang (moderate mental retardation) dengan IQ 40 –54.
  3. Retardasi mental berat (severe mental tetardation) dengan IQ: 20 – 39.
  4. Retardasi mental sangat berat (profound mental retardation) dengan IQ 20 kebawah.
Penggolongan anak Tunagrahita menurut kriteria perilaku adaptif tidak berdasarkan taraf inteligensi, tetapi berdasarkan kematangan sosial. Hal ini juga mempunyai 4 (empat) taraf, yaitu:
  1. Ringan;
  2. Sedang;
  3. Berat; dan
  4. Sangat Berat.
Sedangkan secara klinis, Tunagrahita dapat digolongkan atas dasar tipe atau ciri-ciri jasmaniah secara berikut:
  1. Sindroma Down/mongoloid; dengan ciri-ciri wajah khas mongol, mata sipit dan miring, lidah dan bibir tebal dan suka menjulur, jari kaki melebar, kaki dan tangan pendek, kulit kering, tebal, kasar dan keriput, dan susunan geligi kurang baik.
  2. Hydrocephalus (kepala besar berisi cairan); dengan ciri kepala besar, raut muka kecil, tengkorak sering menjadi besar.
  3. Microcephalus dan Makrocephalus; dengan ciri-ciri ukuran kepala tidak proporsional (terlalu kecil atau terlalu besar).
 Tunagrahita dapat disebabkan oleh beberapa faktor:
  1. Genetik.
    a. Kerusakan/Kelainan Biokimiawi.
    b. Abnormalitas Kromosomal (chromosomal Abnormalities).
    c. Anak tunagrahita yang lahir disebabkan oleh faktor ini pada umumnya adalah Sindroma Down atau Sindroma mongol (mongolism) dengan IQ antar 20 – 60, dan rata-rata mereka memliki IQ 30 – 50.
  2. Pada masa sebelum kelahiran (pre-natal).
    a. Infeksi Rubella (Cacar)
    b. Faktor Rhesus (Rh)
  3. Pada saat kelahiran (perinatal)
    Retardasi mental/tunagraita yang disebabkan olek kejadian yang terjadi pada saat kelahiran adalah luka-luka pada saat kelahiran, sesak nafas (asphyxia), dan lahir rematur.
  4. Pada saat setelah lahir (post-natal)
    Penyakit-penyakit akibat infeksi misalnya: Meningitis (peradangan pada selaput otak) dan problema nutrisi yaitu kekurangan gizi misalnya: kekurangan protein yang diderita bayi dan awal masa kanak-kanak dapat menyebabkan tunagrahita.
  5. Faktor sosio-kultural.
    Sosio kultural atau sosial budaya lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan intelektual manusia.
  6. Gangguan Metabolisme/Nutrisi.
    a. Phenylketonuria. Gangguan pada metabolisme asam amino, yaitu gangguan pada enzym Phenylketonuria.
    b. Gargoylisme. Gangguan metabolisme saccharide dalam hati, limpa kecil, dan otak.
    c. Cretinisme. Gangguan pada hormon tiroid yang dikenal karena defisiensi yodium.
Secara umum, Grossman et al, 1973, dalam B3PTKSM (p. 24) menyatakan penyebab tunagrahita akibat dari:
1. infeksi dan/atau intoxikasi,
2. rudapaksa dan/atau sebab fisk lain,
3. gangguan metabolisma, pertumbuhan atau gizi (nutrisi),
4. penyakit otak yang nyata (kondisi setelah lahir/post-natal),
5. akibat penyakit atau pengaruh sebelum lahir (pre-natal) yang tidak diketahui,
6. akibat kelainan kromosomal,
7. gangguan waktu kehamilan (gestational disorders),
8. gangguan pasca-psikiatrik/gangguan jiwa berat (post-psychiatrik disorders),
9. pengaruh-pengaruh lingkungan, dan
10. kondisi-kondisi lain yang tak tergolongkan.
 Karakteristik anak tunagrahita menurut Brown et al, 1991; Wolery & Haring, 1994 pada Exceptional Children, fifth edition, p.485-486, 1996 menyatakan:
Lamban dalam mempelajari hal-hal yang baru, mempunyai kesulitan dalam mempelajari pengetahuan abstrak atau yang berkaitan, dan selalu cepat lupa apa yang dia pelajari tanpa latihan yang terus menerus.
  1. Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru.
  2. Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak tunagrahita berat.
  3. Cacat fisik dan perkembangan gerak. Kebanyakan anak denga tunagrahita berat mempunyai ketebatasab dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat berjalan, tidak dapat berdiri atau bangun tanpa bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangatsederhana, sulit menjangkau sesuatu , dan mendongakkan kepala.
  4. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri. Sebagian dari anak tunagrahita berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti: berpakaian, makan, dan mengurus kebersihan diri. Mereka selalu memerlukan latihan khusus untuk mempelajari kemampuan dasar.
  5. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim. Anak tunagrahta ringan dapat bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang mempunyai tunagrahita berat tidak meakukan hal tersebut. Hal itu mungkin disebabkan kesulitan bagi anak tunagrahita dalam memberikan perhatian terhadap lawan main.
  6. Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus. Banyak anak tunagrahita berat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas. Kegiatan mereka seperti ritual, misalnya: memutar-mutar jari di depan wajahnya dan melakukan hal-hal yang membahayakan diri sendiri, misalnya: menggigit diri sendiri, membentur-beturkan kepala, dll.
Pendekatan yang dapat diberikan kepada anak tunagrahita adalah:

1. Play therapy (Terapi bermain)
Terapi yang diberikan kepada anak tunagrahita dengan cara bermain, misalnya: memberikan pelajaran tentang hitungan, anak diajarkan dengan cara sosiodrama, bermain jual-beli.

2. Activity Daily Living (ADL) atau Kemampuan Merawat Diri / Bina Diri
Untuk memandirikan anak tunagrahita, mereka harus diberikan pengetahuan dan keterampilan tentang kegiatan kehidupan sehari-hari (ADL) agar mereka dapat merawat diri sendiri tanpa bantuan orang lain dan tidak tergantung kepada orang lain.